Kekerasan terhadap anak merupakan isu sensitif dan masih dianggap
tabu di Indonesia. Sementara setiap tahun angka kekerasan pada anak cenderung
terus meningkat. Komnas Perlindungan Anak ( Komnas PA) mencatat adanya laporan
tentang kasus kekerasan anak mencapai 3339 kasus. Dari Jumlah itu, sekitar 58
persen merupakan kekerasan seksual
Kondisi ini merupakan isu penting yang perlu ditelaah secara jeli.
Pasalnya , sebagian besar anak yang berada dalam perkembangan kognitif dan cara
berpikir mereka. Selain perkembangan dalam keterampilan berbahasa, anak – anak
tersebut juga mulai mengeksplorasi daya imajinasi dan fantasi mereka.
Bahkan dalam banyak kasus, seringkali untuk mengungkap kejadian
yang menimpa sanak, orang tua secara tidak sengaja memberikan pertanyaan yang
mengarahkan atau mengandung prasangka kepada anak atau dikenal dengan istilah
suggestibility dan stereotyping. Padahal cara tersebut tidak memberikan jaminan
bahwa informasi yang diperoleh sahih.
“Secara tidak sengaja kita sebagai orang tua atau orang dewasa
sering menggunakan segala cara untuk dapat mengagali informasi dari sang anak,
terlebih ketika anak tersebut dapat mempengaruhi sang anak untuk menceritakan
hal – hal yang ingin kita dengar, bukan hal yang sebenarnya,” Jelas Kamala
London.
“Di Indonesia hal ini menambah ilmu pengetahuan yang selama ini di
belum mengetahui mengenai istilah ini. Menurut saya memang betul-betul sangat bermanfaat sekali dan tepat waktunya.”
Ujar Nyonya Uno dimana saat itu menjadi salah satu peserta diskusi.
Dalam Diskusi itu, Kamala menekankan khususnya dalam wawancara
investigasi pada anak, sebaiknya jangan membuat ana merasa terpojok sehingga
akhirnya menjadikan ia mengalami “False Memory Syndrom” tadi.
"Anak-anak mudah percaya pada suatu hal sering ia dengar.
Kita tidak bisa membedakan pernyataan benar atau palsu anak karena bagi mereka
kejadian tersebut benar-benar terjadi," lanjut Kamala.
"Jadi biarkan anak-anak bercerita dengan kata-katanya
sendiri. Anak bisa memberikan kesaksian yang dapat diandalkan jika orang dewasa
tidak mengarahkan pertanyaan," tutupnya.
Anak anak juga akan cenderung menurut pada orang yang terlihat
mempunyai kekuatan besar seperti polisi. “Saran saya, jika polisi memeriksa
kasus pada anak jangan gunakan seragam. Itu akan membuat anak takut dan
menjawab secara terpaksa”, ujar Kamala.
Menurutnya, kesalahan dari kebanyakan orang dewasa adalah merasa
bisa mengidentifikasi kebenaran dari ucapan anak. Bahkan, beberapa teknik yang
salah juga seringkali diterapkan untuk menggali informasi pada anak yang
terkait kasus pelecehan seksual pada anak.
Dalam konteks kasus yang pernah terjadi, seringkali seorang
tersangka digambarkan lebih dulu sebagai orang jahat sehingga fantasi anak
mengikuti gambaran awal yang diberikan.
“Bahkan Ia akan berimajinasi dengan hal-hal yang tidak logis”,
ujar Kamala.
Kesalahan terbesarnya, orang dewasa cenderung mengharapkan
jawaban anak sesuai prasangkanya. Kamala menjelaskan hasil risetnya sendiri,
yaitu ketika seseorang diceritakan sebagai orang jahat sebelum anak melihatnya,
maka anak akan menanamkan itu dalam memory mereka. “Terbukti saat orang yang
diceritakan datang, mereka menuduhnya sebagai orang jahat”, ujarnya.
Intinya, metode yang menggunakan pertanyaan negatif akan cenderung
memunculkan false memory untuk mengikuti keinginan pewawancaranya.
“Semakin sugestif pertanyaan ke anak, semakin besar kemungkinan
munculnya false memory pada anak”, tukas Kamala.
Karena itu Kamala berpesan, dalam banyak kasus dugaan pelecehan seksual
pada anak, belum tentu yang terjadi seperti yang digambarkan oleh anak
itu.
Untuk menggali data dari anak korban pelecehan seksual, harus
menggunakan psikologi forensik dan bukan psikologi klinis. Menurutnya, ada
perbedaan antara keduanya.
“Psikologi Klinis hanya bersifat terapis, sedang forensik
bersifat investigasi. Maka tidak bisa menggunakan hasil klinis dalam
penyelidikan kasus pelecehan seksual pada anak”, tegas Kamala.
Perkembangan anak harus di ikuti , harus hati-hati tidak dapat di
diamkan begitu saja, Sebagai orang tua
sudah menjadi keharusan menjadi orang tua yang aktif dalam perkembangannya.
Source : http://antitesanews.com/news/lifestyle/18-03-2015/154-kenali-penyebab-false-memory-pada-anak
Kenali Penyebab False Memory Pada Anak
Reviewed by Antitesa
on
March 18, 2015
Rating:

No comments: