Facebook SDK

banner image

Laporan RS Singapura: Siswa JIS Bukan Korban Sodomi

RMOL. Dugaan adanya rekayasa dalam dugaan kekerasan seksual yang melibatkan dua guru di Jakarta Intercultural School (JIS) semakin kuat. Sebaliknya, fakta medis serta keterangan para saksi dan ahli yang dihadirkan selama sidang di PN Jakarta Selatan semakin memperlemah laporan dari ibu korban.

Hotman Paris, Pengacara Neil Bantleman dan Ferdinant Tjong, dua guru JIS yang dijadikan tersangka mengatakan, banyak kejanggalan yang terjadi sejak awal kasus ini bergulir. Mulai dari proses penyidikan awal yang memakan waktu hampir 4 bulan atau hampir mencapai batas waktu penahanan maksimal tersangka, menunjukkan bahwa penyidikan kasus ini tidak dilandasi oleh bukti-bukti yang kuat. Dalam sidang, JPU juga hanya membawa bukti berupa blender, kain pita selempang yang biasa dipakai guru.

"Kami amat yakin bahwa sodomi tidak pernah terjadi di JIS karena dalam persidangan, tidak ada satu pun bukti yang ditunjukkan Penuntut Umum terkait sodomi. Akibat pertama yang bisa dilihat dari anak yang disodomi adalah nestapa dan penderitaan. Bagaimana mungkin seorang anak disodomi secara paksa, beramai-ramai, berulang-ulang kali, di jam sekolah selama berbulan-bulan tanpa diketahui akibatnya oleh para guru, teman sekelasnya, atau pun pengasuh dan orang tuanya. Kalau memang ada, anak tersebut sudah mengalami pendarahan atau pingsan," jelas Hotman dalam keterangan persnya, Jumat (27/3).

Fakta pendukung lainnya, anak kedua berinisial AL, tidak pernah sama sekali mengatakan kalau dia mengalami kekerasan seksual. Semua cerita ini didapatkan dari keterangan orang tua. Hasil medis juga tidak ada yang mengkonfirmasi adanya perbuatan kekerasan seksual yang dituduhkan kepada dua guru. Bahkan, si anak tidak dapat mengenali kedua guru tersebut ketika hadir dalam persidangan.

Fakta medis dari RSPI juga semakin memperkuat adanya banyak kejanggalan dalam kasus ini. Sesuai keterangan saksi dari RSPI, anak pertama yaitu MAK yang dikatakan juga turut menjadi korban, ternyata tidak mengidap penyakit herpes, seperti yang dikatakan oleh ibu pelapor persis setahun lalu ketika kasus ini mencuat ke publik. Dalam persidangan beberapa waktu lalu, Dr Lutfi dari RSPI mengatakan bahwa nanah yang diderita oleh MAK bukan disebabkan oleh virus, melainkan diduga bakteri. Selain itu, pemeriksaan di UGD tersebut baru awal dan perlu pemeriksaan lanjutan untuk mendapatkan hasil yang konklusif.

Dr Lutfi dalam persidangan beberapa waktu lalu mengatakan, permintaan agar ibu MAK membawa anaknya itu untuk diperiksa lagi tidak pernah dilakukan. Ibu MAK justru melaporkan kasus kekerasan seksual dengan alasan penyakit herpes yang ia katakan dialami si anak. Padahal penyakit MAK bukan itu. Hal penting lain yang perlu dicermati dalam kasus ini adalah hasil pemeriksaan medis para anak pelapor. Pada pembelaan terhadap dua guru JIS, tim pengacara telah menghadirkan Dr Kevin Baird, ahli mikrobiologis medis dari Universitas Oxford di Inggris yang diminta untuk memeriksa laporan laboratorium dari SOS Medika, RSCM dan RSPI yang menjadi tempat pemeriksaan.

Berdasarkan analisa Dr Kevin, MAK terbukti secara jelas dan meyakinkan tidak terinfeksi penyakit menular seksual. Hal ini jelas menyanggah kemungkinan bahwa MAK mengalami kekerasan seksual dari para petugas kebersihan yang diantaranya terbukti positif mengidap herpes. Belakangan juga ditemukan, bahwa terdapat hasil pemeriksaan laboratorium MAK di RS Bhayangkara yang dilakukan di bulan Juli 2014 lalu yang menunjukkan anak tersebut tidak terinveksi HSV-2 IgM. Anehnya, laporan ini tidak muncul dalam berkas perkara petugas kebersihan sebelumnya.

Laporan Medis dari RS Singapura Berbeda dengan Hasil Pemeriksaan Dokter Indonesia: Anak Kedua AL, Anus Normal. Lebih jauh lagi, ternyata ada laporan medis dari salah satu rumah sakit di Singapura untuk anak kedua AL, yang menyatakan bahwa dia tidak pernah mengalami kekerasan seksual. Laporan Rumah sakit KK Women’s and Children’s Hospital Singapore, sudah dilengkapi dengan dokumen asli Putusan High Court of Singapore atau Order of Court Nomor: S 779/2014 tanggal 11 Februari 2015 yang menyebut anus Al normal atau tidak ada ciri-ciri sodomi. Hasil pemeriksaan medis ini dilakukan oleh Tim Dokter di RS Singapura meliputi ahli bedah, ahli anastesi dan ahli psikologi.

Pemeriksaan dilakukan melalui proses anuskopi lengkap sehingga anak harus dibius total (anastesi) terlebih dahulu sehingga bagian dalam anus dapat terlihat jelas. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan akurasi dari hasil pemeriksaan terhadap anak. Tindakan ini tidak dilakukan oleh dokter di Indonesia karena mereka tidak melakukan bius kepada anak sehingga tidak mungkin dilakukan pemeriksaan anuskopi secara lengkap.

Hal ini dibenarkan oleh 2 (dua) ahli kedokteran bernama dr. Ferryal Basbeth dan dr. David Wells sebagai ahli di bawah sumpah yang memberikan keterangan di depan Persidangan perkara aquo. Mereka telah menjelaskan istilah-istilah medis yang tercantum dalam isi laporan Rumah Sakit Singapura tersebut dan 2 (dua) ahli tersebut membenarkan bahwa tindakan anuskopi dilakukan dengan memasukkan alat bivalve ke anus anak setelah dibius total terlebih dahulu.

Mahareksha Dillon, salah satu tim kuasa hukum Neil dan Ferdi mengatakan, laporan medis ini jelas menunjukkan bahwa anak tersebut tidak mengalami kekerasan seksual. Fakta ini seharusnya jelas menjadi bukti bahwa kedua guru tersebut tidak melakukan kekerasan seksual kepada si anak. [sam]


Laporan: Samrut Lellolsima

sumber : http://hukum.rmol.co/read/2015/03/27/197063/Laporan-RS-Singapura:-Siswa-JIS-Bukan-Korban-Sodomi-
 
Laporan RS Singapura: Siswa JIS Bukan Korban Sodomi Laporan RS Singapura: Siswa JIS Bukan Korban Sodomi Reviewed by Antitesa on May 08, 2015 Rating: 5

No comments:

Home Ads

Powered by Blogger.